Setelah raja Śri Kĕrtānegara gugur, kerajaan Singhasāri berada di
bawah kekuasaan raja Jayakatwang dari Kadiri. Salah satu keturunan
penguasa Singhasāri, yaitu Raden Wijaya, kemudian berusaha merebut
kembali kekuasaan nenek moyangnya. Ia adalah keturunan Ken Arok, raja
Singhāsāri pertama dan anak dari Dyah Lěmbu Tal. Ia juga dikenal dengan
nama lain, yaitu Nararyya Sanggramawijaya. Menurut sumber sejarah, Raden
Wijaya sebenarnya adalah mantu Kĕrtanāgara yang masih terhitung
keponakan. Kitab Pararaton menyebutkan bahwa ia mengawini dua anak sang
raja sekaligus, tetapi kitab Nāgarakertāgama menyebutkan bukannya dua
melainkan keempat anak perempuan Kěrtanāgara dinikahinya semua. Pada
waktu Jayakatwang menyerang Singhasāri, Raden Wijaya diperintahkan untuk
mempertahankan ibukota di arah utara. Kekalahan yang diderita
Singhasāri menyebabkan Raden Wijaya mencari perlindungan ke sebuah desa
bernama Kudadu, lelah dikejar-kejar musuh dengan sisa pasukan tinggal
duabelas orang. Berkat pertolongan Kepala Desa Kudadu, rombongan Raden
Wijaya dapat menyeberang laut ke Madura dan di sana memperoleh
perlindungan dari Arya Wiraraja, seorang bupati di pulau ini. Berkat
bantuan Aryya Wiraraja, Raden Wijaya kemudian dapat kembali ke Jawa dan
diterima oleh raja Jayakatwang. Tidak lama kemudian ia diberi sebuah
daerah di hutan Těrik untuk dibuka menjadi desa, dengan dalih untuk
mengantisipasi serangan musuh dari arah utara sungai Brantas. Berkat
bantuan Aryya Wiraraja ia kemudian mendirikan desa baru yang diberi nama
Majapahit. Di desa inilah Raden Wijaya kemudian memimpin dan menghimpun
kekuatan, khususnya rakyat yang loyal terhadap almarhum Kertanegara
yang berasal dari daerah Daha dan Tumapel. Aryya Wiraraja sendiri
menyiapkan pasukannya di Madura untuk membantu Raden Wijaya bila saatnya
diperlukan. Rupaya ia pun kurang menyukai raja Jayakatwang.
Tidak terduga sebelumnya bahwa pada tahun 1293 Jawa kedatangan pasukan
dari Cina yang diutus oleh Kubhilai Khan untuk menghukum Singhasāri atas
penghinaan yang pernah diterima utusannya pada tahun 1289. Pasukan
berjumlah besar ini setelah berhenti di Pulau Belitung untuk beberapa
bulan dan kemudian memasuki Jawa melalui sungai Brantas langsung menuju
ke Daha. Kedatangan ini diketahui oleh Raden Wijaya, ia meminta izin
untuk bergabung dengan pasukan Cina yang diterima dengan sukacita.
Serbuan ke Daha dilakukan dari darat maupun sungai yang berjalan sengit
sepanjang pagi hingga siang hari. Gabungan pasukan Cina dan Raden Wijaya
berhasil membinasakan 5.000 tentara Daha. Dengan kekuatan yang tinggal
setengah, Jayakatwang mundur untuk berlindung di dalam benteng. Sore
hari, menyadari bahwa ia tidak mungkin mempertahankan lagi Daha,
Jayakatwang keluar dari benteng dan menyerahkan diri untuk kemudian
ditawan oleh pasukan Cina.
Dengan dikawal dua perwira dan 200 pasukan Cina, Raden Wijaya minta izin
kembali ke Majapahit untuk menyiapkan upeti bagi kaisar Khubilai Khan.
Namun dengan menggunakan tipu muslihat kedua perwira dan para
pengawalnya berhasil dibinasakan oleh Raden Wijaya. Bahkan ia berbalik
memimpin pasukan Majapahit menyerbu pasukan Cina yang masih tersisa yang
tidak menyadari bahwa Raden Wijaya akan bertindak demikian. Tiga ribu
anggota pasukan kerajaan Yuan dari Cina ini dapat dibinasakan oleh
pasukan Majapahit, selebihnya melarikan dari keluar Jawa dengan
meninggalkan banyak korban. Akhirnya cita-cita Raden Wijaya untuk
menjatuhkan Daha dan membalas sakit hatinya kepada Jayakatwang dapat
diwujudkan dengan memanfaatkan tentara asing. Ia kemudian
memproklamasikan berdirinya sebuah kerajaan baru yang dinamakan
Majapahit. Pada tahun 1215 Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja pertama
dengan gelar Śri Kĕrtarājasa Jayawardhana. Keempat anak Kertanegara
dijadikan permaisuri dengan gelar Śri Parameśwari Dyah Dewi
Tribhūwaneśwari, Śri Mahādewi Dyah Dewi Narendraduhitā, Śri Jayendradewi
Dyah Dewi Prajnyāparamitā, dan Śri Rājendradewi Dyah Dewi Gayatri. Dari
Tribhūwaneśwari ia memperoleh seorang anak laki bernama Jayanagara
sebagai putera mahkota yang memerintah di Kadiri. Dari Gayatri ia
memperoleh dua anak perempuan, Tribhūwanottunggadewi Jayawisnuwardhani
yang berkedudukan di Jiwana (Kahuripan) dan Rājadewi Mahārājasa di Daha.
Raden Wijaya masih menikah dengan seorang isteri lagi, kali ini berasal
dari Jambi di Sumatera bernama Dara Petak dan memiliki anak darinya
yang diberi nama Kalagěmět. Seorang perempuan lain yang juga datang
bersama Dara Petak yaitu Dara Jingga, diperisteri oleh kerabat raja
bergelar ‘dewa’ dan memiliki anak bernama Tuhan Janaka, yang dikemudian
hari lebih dikenal sebagai Adhityawarman, raja kerajaan Malayu di
Sumatera. Kedatangan kedua orang perempuan dari Jambi ini adalah hasil
diplomasi persahabatan yaang dilakukan oleh Kěrtanāgara kepada raja
Malayu di Jambi untuk bersama-sama membendung pengaruh Kubhilai Khan.
Atas dasar rasa persahabatan inilah raja Malayu, Śrimat Tribhūwanarāja
Mauliwarmadewa, mengirimkan dua kerabatnya untuk dinikahkan dengan raja
Singhasāri. Dari catatan sejarah diketahui bahwa Dara Jingga tidak betah
tinggal di Majapahit dan akhirnya pulang kembali ke kampung halamannya.
Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 digantikan oleh Jayanāgara. Seperti
pada masa akhir pemerintahan ayahnya, masa pemerintahan raja Jayanāgara
banyak dirongrong oleh pemberontakan orang-orang yang sebelumnya
membantu Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit. Perebutan pengaruh
dan penghianatan menyebabkan banyak pahlawan yang berjasa besar akhirnya
dicap sebagai musuh kerajaan. Pada mulanya Jayanāgara juga terpengaruh
oleh hasutan Mahāpati yang menjadi biang keladi perselisihan tersebut,
namun kemudian ia menyadari kesalahan ini dan memerintahkan pengawalnya
untuk menghukum mati orang kepercayaannya itu. Dalam situasi yang
demikian muncul seorang prajurit yang cerdas dan gagah berani bernama
Gajah Mada. Ia muncul sebagai tokoh yang berhasil mamadamkan
pemberontakan Kuti, padahal kedudukannya pada waktu itu hanya berstatus
sebagai pengawal raja (běkěl bhayangkāri). Kemahirannya mengatur siasat
dan berdiplomasi dikemudian hari akan membawa Gajah Mada pada posisi
yang sangat tinggi di jajaran pemerintahan kerajaan Majapahit, yaitu
sebagai Mahamantri kerajaan.
Setelah peristiwa Bubat, Mahāpatih Gajah Mada mengundurkan diri dari
jabatannya karena usia lanjut, sedangkan Hayam Wuruk akhirnya menikah
dengan sepupunya sendiri bernama Pāduka Śori, anak dari Bhre Wĕngkĕr
yang masih terhitung bibinya.
Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk kerajaan Majapahit menjadi sebuah
kerajaan besar yang kuat, baik di bidang ekonomi maupun politik. Hayam
Wuruk memerintahkan pembuatan bendungan-bendungan dan saluran-saluran
air untuk kepentingan irigasi dan mengendalikan banjir. Sejumlah
pelabuhan sungai pun dibuat untuk memudahkan transportasi dan bongkar
muat barang. Empat belas tahun setelah ia memerintah, Mahāpatih Gajah
Mada meninggal dunia di tahun 1364. Jabatan patih Hamangkubhūmi tidak
terisi selama tiga tahun sebelum akhirnya Gajah Enggon ditunjuk Hayam
Wuruk mengisi jabatan itu. Sayangnya tidak banyak informasi tentang
Gajah Enggon di dalam prasasti atau pun naskah-naskah masa Majapahit
yang dapat mengungkap sepak terjangnya.
Raja Hayam Wuruk wafat tahun 1389. Menantu yang sekaligus merupakan
keponakannya sendiri yang bernama Wikramawarddhana naik tahta sebagai
raja, justru bukan Kusumawarddhani yang merupakan garis keturunan
langsung dari Hayam Wuruk. Ia memerintah selama duabelas tahun sebelum
mengundurkan diri sebagai pendeta. Sebelum turun tahta ia menujuk
puterinya, Suhita menjadi ratu. Hal ini tidak disetujui oleh Bhre
Wirabhūmi, anak Hayam Wuruk dari seorang selir yang menghendaki tahta
itu dari keponakannya. Perebutan kekuasaan ini membuahkan sebuah perang
saudara yang dikenal dengan Perang Parěgrěg. Bhre Wirabhumi yang semula
memperoleh kemenanggan akhirnya harus melarikan diri setelah Bhre
Tumapĕl ikut campur membantu pihak Suhita. Bhre Wirabhūmi kalah bahkan
akhirnya terbunuh oleh Raden Gajah. Perselisihan keluarga ini membawa
dendam yang tidak berkesudahan. Beberapa tahun setelah terbunuhnya Bhre
Wirabhūmi kini giliran Raden Gajah yang dihukum mati karena dianggap
bersalah membunuh bangsawan tersebut.
Suhita wafat tahun 1477, dan karena tidak mempunyai anak maka
kedudukannya digantikan oleh adiknya, Bhre Tumapĕl Dyah Kĕrtawijaya.
Tidak lama ia memerintah digantikan oleh Bhre Pamotan bergelar Śri
Rājasawardhana yang juga hanya tiga tahun memegang tampuk pemerintahan.
Bahkan antara tahun 1453-1456 kerajaan Majapahit tidak memiliki seorang
raja pun karena pertentangan di dalam keluarga yang semakin meruncing.
Situasi sedikit mereda ketika Dyah Sūryawikrama Giriśawardhana naik
tahta. Ia pun tidak lama memegang kendali kerajaan karena setelah itu
perebutan kekuasaan kembali berkecambuk. Demikianlah kekuasaan silih
berganti beberapa kali dari tahun 1466 sampai menjelang tahun 1500.
Berita-berita Cina, Italia, dan Portugis masih menyebutkan nama
Majapahit di tahun 1499 tanpa menyebutkan nama rajanya. Semakin
meluasnya pengaruh kerajaan kecil Demak di pesisir utara Jawa yang
menganut agama Islam, merupakan salah satu penyebab runtuhnya kerajaan
Majapahit. Tahun 1522 Majapahit tidak lagi disebut sebagai sebuah
kerajaan melainkan hanya sebuah kota. Pemerintahan di Pulau Jawa telah
beralih ke Demak di bawah kekuasaan Adipati Unus, anak Raden Patah,
pendiri kerajaan Demak yang masih keturunan Bhre Kertabhūmi. Ia
menghancurkan Majapahit karena ingin membalas sakit hati neneknya yang
pernah dikalahkan raja Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Demikianlah
maka pada tahun 1478 hancurlah Majapahit sebagai sebuah kerajaan
penguasa nusantara dan berubah satusnya sebagai daerah taklukan raja
Demak. Berakhir pula rangkaian penguasaan raja-raja Hindu di Jawa Timur
yang dimulai oleh Keng Angrok saat mendirikan kerajaan Singhāsari,
digantikan oleh sebuah bentuk kerajaan baru bercorak agama Islam.
Ironisnya, pertikaian keluarga dan dendam yang berkelanjutan menyebabkan
ambruknya kerajaan ini, bukan disebabkan oleh serbuan dari bangsa lain
yang menduduki Pulau Jawa.
Raden Wijaya
Raden Wijaya nerupakan nama yang lazim dipakai para sejarawan untuk
menyebut pendiri Kerajaan Majapahit. Nama ini terdapat dalam Pararaton
yang ditulis sekitar akhir abad ke-15. Kadang Pararaton juga menulisnya
secara lengkap, yaitu Raden Harsawijaya. Padahal menurut bukti-bukti
prasasti, pada masa kehidupan Wijaya (abad ke-13 atau 14) pemakaian
gelar raden belum populer.
Nagarakretagama yang ditulis pada pertengahan abad ke-14 menyebut
pendiri Majapahit bernama Dyah Wijaya. Gelar dyah merupakan gelar
kebangsawanan yang populer saat itu dan menjadi cikal bakal gelar Raden.
Istilah Raden sendiri diperkirakan berasal dari kata Ra Dyah atau Ra
Dyan atau Ra Hadyan.
Nama asli pendiri Majapahit yang paling tepat adalah Nararya
Sanggramawijaya, karena nama ini terdapat dalam prasasti Kudadu yang
dikeluarkan oleh Wijaya sendiri pada tahun 1294. Gelar Nararya juga
merupakan gelar kebangsawanan, meskipun gelar Dyah lebih sering
digunakan.
Asal-Usul
Menurut Pararaton, Raden Wijaya adalah putra Mahisa Campaka, seorang
pangeran dari Kerajaan Singhasari. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi
Nusantara, Raden Wijaya adalah putra pasangan Rakeyan Jayadarma dan Dyah
Lembu Tal. Ayahnya adalah putra Prabu Guru Darmasiksa, raja Kerajaan
Sunda Galuh, sedangkan ibunya adalah putri Mahisa Campaka dari Kerajaan
Singhasari. Setelah Rakeyan Jayadarma tewas diracun musuhnya, Lembu Tal
pulang ke Singhasari membawa serta Wijaya. Dengan demikian, Raden Wijaya
merupakan perpaduan darah Sunda dan Jawa.
Kisah di atas mirip dengan Babad Tanah Jawi yang menyebut pendiri
Kerajaan Majapahit bernama Jaka Sesuruh putra Prabu Sri Pamekas raja
Kerajaan Pajajaran, yang juga terletak di kawasan Sunda. Jaka Sesuruh
melarikan diri ke timur karena dikalahkan saudara tirinya yang bernama
Siyung Wanara. Ia kemudian membangun Kerajaan Majapahit dan berbalik
menumpas Siyung Wanara.
Berita di atas berlawanan dengan Nagarakretagama yang menyebut Dyah
Lembu Tal adalah seorang laki-laki, putra Narasinghamurti. Naskah ini
memuji Lembu Tal sebagai seorang perwira yuda yang gagah berani dan
merupakan ayah dari Dyah Wijaya.
Silsilah Keluarga
Raden Wijaya dalam prasasti Balawi tahun 1305 menyatakan dirinya sebagai
anggota Wangsa Rajasa. Menurut Nagarakretagama, Wijaya adalah putra
Dyah Lembu Tal, putra Narasinghamurti. Menurut Pararaton,
Narasinghamurti alias Mahisa Campaka adalah putra Mahisa Wonga Teleng
putra Ken Arok pendiri Wangsa Rajasa.
Menurut prasasti Balawi dan Nagarakretagama, Raden Wijaya menikah dengan
empat orang putri Kertanagara, raja terakhir Kerajaan Singhasari, yaitu
Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri. Sedangkan
menurut Pararaton, ia hanya menikahi dua orang putri Kertanagara saja,
serta seorang putri dari Kerajaan Malayu bernama Dara Petak.
Menurut prasasti Sukamerta dan prasasti Balawi, Raden Wijaya memiliki
seorang putra dari Tribhuwaneswari bernama Jayanagara. Sedangkan
Jayanagara menurut Pararaton adalah putra Dara Petak, dan menurut
Nagarakretagama adalah putra Indreswari. Sementara itu, dari Gayatri
lahir dua orang putri bernama Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat.
Namun demikian ada juga pendapat lain, dimana Raden Wijaya juga
mengambil Dara Jingga yang juga salah seorang putri Kerajaan Melayu
sebagai istrinya selain dari Dara Petak, karena Dara Jingga juga dikenal
memiliki sebutan sira alaki dewa — dia yang dinikahi orang yang
bergelar dewa.
Mendirikan Desa Majapahit
Menurut prasasti Kudadu, pada tahun 1292 terjadi pemberontakan
Jayakatwang bupati Gelang-Gelang terhadap kekuasaan Kerajaan Singhasari.
Raden Wijaya ditunjuk Kertanegara untuk menumpas pasukan Gelang-Gelang
yang menyerang dari arah utara Singhasari. Wijaya berhasil memukul
mundur musuhnya. Namun pasukan pemberontak yang lebih besar datang dari
arah selatan dan berhasil menewaskan Kertanagara.
Menyadari hal itu, Raden Wijaya melarikan diri hendak berlindung ke
Terung di sebelah utara Singhasari. Namun karena terus dikejar-kejar
musuh ia memilih pergi ke arah timur. Dengan bantuan kepala desa Kudadu,
ia berhasil menyeberangi Selat Madura untuk bertemu Arya Wiraraja
penguasa Songeneb (nama lama Sumenep).
Bersama Arya Wiraraja, Raden Wijaya merencanakan siasat untuk merebut
kembali takhta dari tangan Jayakatwang. Wijaya berjanji, jika ia
berhasil mengalahkan Jayakatwang, maka daerah kekuasaannya akan dibagi
dua untuk dirinya dan Wiraraja. Siasat pertama pun dijalankan.
Mula-mula, Wiraraja menyampaikan berita kepada Jayakatwang bahwa Wijaya
menyatakan menyerah kalah. Jayakatwang yang telah membangun kembali
negeri leluhurnya, yaitu Kerajaan Kadiri menerimanya dengan senang hati.
Ia pun mengirim utusan untuk menjemput Wijaya di pelabuhan Jungbiru.
Siasat berikutnya, Wijaya meminta Hutan Tarik di sebelah timur Kadiri
untuk dibangun sebagai kawasan wisata perburuan. Wijaya mengaku ingin
bermukim di sana. Jayakatwang yang gemar berburu segera mengabulkannya
tanpa curiga. Wiraraja pun mengirim orang-orang Songeneb untuk membantu
Wijaya membuka hutan tersebut. Menurut Kidung Panji Wijayakrama, salah
seorang Madura menemukan buah maja yang rasanya pahit. Oleh karena itu,
desa pemukiman yang didirikan Wijaya tersebut pun diberi nama Majapahit.
Menjadi Raja Majapahit
Catatan Dinasti Yuan mengisahkan pada tahun 1293 pasukan Mongol sebanyak
20.000 orang dipimpin Ike Mese mendarat di Jawa untuk menghukum
Kertanagara, karena pada tahun 1289 Kertanagara telah melukai utusan
yang dikirim Kubilai Khan raja Mongol.
Raden Wijaya memanfaatkan kedatangan pasukan Mongol ini untuk
menghancurkan Jayakatwang. Ia pun mengundang Ike Mese untuk memberi tahu
bahwa dirinya adalah ahli waris Kertanagara yang sudah tewas. Wijaya
meminta bantuan untuk merebut kembali kekuasaan Pulau Jawa dari tangan
Jayakatwang, dan setelah itu baru ia bersedia menyatakan tunduk kepada
bangsa Mongol.
Jayakatwang yang mendengar persekutuan Wijaya dan Ike Mese segera
mengirim pasukan Kadiri untuk menghancurkan mereka. Namun pasukan itu
justru berhasil dikalahkan oleh pihak Mongol. Selanjutnya, gabungan
pasukan Mongol dan Majapahit serta Madura bergerak menyerang Daha, ibu
kota Kerajaan Kadiri. Jayakatwang akhirnya menyerah dan ditawan dalam
kapal Mongol.
Setelah Jayakatwang dikalahkan, Wijaya meminta izin untuk kembali ke
Majapahit mempersiapkan penyerahan dirinya. Ike Mese mengizinkannya
tanpa curiga. Sesampainya di Majapahit, Wijaya membunuh para prajurit
Mongol yang mengawalnya. Ia kemudian memimpin serangan balik ke arah
Daha di mana pasukan Mongol sedang berpesta kemenangan. Serangan
mendadak itu membuat Ike Mese kehilangan banyak prajurit dan terpaksa
menarik mundur pasukannya meninggalkan Jawa.
Wijaya kemudian menobatkan dirinya menjadi raja Majapahit. Menurut
Kidung Harsa Wijaya, penobatan tersebut terjadi pada tanggal 15 bulan
Karttika tahun 1215 Saka, atau bertepatan dengan 12 November 1293.
Masa Pemerintahan
Dalam memerintah Majapahit, Wijaya mengangkat para pengikutnya yang dulu
setia dalam perjuangan. Nambi diangkat sebagai patih Majapahit, Lembu
Sora sebagai patih Daha, Arya Wiraraja dan Ranggalawe sebagai
pasangguhan. Pada tahun 1294 Wijaya juga memberikan anugerah kepada
pemimpin desa Kudadu yang dulu melindunginya saat pelarian menuju Pulau
Madura.
Pada tahun 1295 seorang tokoh licik bernama Mahapati menghasut
Ranggalawe untuk memberontak. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan
Nambi sebagai patih, dan menjadi perang saudara pertama yang melanda
Majapahit. Setelah Ranggalawe tewas, Wiraraja mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai pasangguhan. Ia menagih janji Wijaya tentang
pembagian wilayah kerajaan. Wijaya mengabulkannya. Maka, sejak saat itu,
wilayah kerajaan pun hanya tinggal setengah, di mana yang sebelah timur
dipimpin oleh Wiraraja dengan ibu kota di Lamajang (nama lama
Lumajang).
Pada tahun 1300 terjadi peristiwa pembunuhan Lembu Sora, paman
Ranggalawe. Dalam pemberontakan Ranggalawe, Sora memihak Majapahit.
Namun, ketika Ranggalawe dibunuh dengan kejam oleh Kebo Anabrang, Sora
merasa tidak tahan dan berbalik membunuh Anabrang. Peristiwa ini
diungkit-ungkit oleh Mahapati sehingga terjadi suasana perpecahan. Pada
puncaknya, Sora dan kedua kawannya, yaitu Gajah Biru dan Jurudemung
tewas dibantai kelompok Nambi di halaman istana.
Akhir Hayat
Menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.
Ia dimakamkan di Antahpura dan dicandikan di Simping sebagai Harihara,
atau perpaduan Wisnu dan Siwa.Wijaya digantikan Jayanagara sebagai raja
selanjutnya.
Dalam setiap bangunan Jawa memiliki tiga bagian inti atau utama yang
salah satunya disebut pendhapa. Saat memasuki halaman Pura
Mangkunegaran, pengunjung disuguhi oleh hamparan rumput dan dedaunan
hijau yang membuat pemandangan menjadi asri. Di bagian tengah terdapat
kolam ikan besar yang ditengahnya terdapat patung seorang anak kecil
sedang menunggangi angsa. Dibelakang kolam terdapat bangunan besar
berbentuk joglo yang disebut sebagai Pendhapa Ageng. Pendhapa Ageng ini
memiliki ukuran 3500 meter persegi dan berbentuk limasan. Pada
pembangunan pendhapa terdapat pencampuran arsistektur Barat dan Timur
yang terlihat dari penambahan emper pendhapa dari besi yang berasal dari
Belanda dan adanya kanopi yang berhias dekorasi motif-motif flora dari
timur, motif flora ini memiliki makna suci, bermakna indah, berbentu
halusimetris atau yang serba estetis. Motif hias tersebut menggambarkan
kehidupan Mangkunegaran pada saat Mangkunegaran mempunyai kekuasaan
untuk mengatur kehidupan pemerintahannya sendiri, jadi dapat dikatakan
bahwa seluruh aktivitas kehidupan baik yang terkait dengan kehidupan
pribadi, berkeluarga dan bermasyarakat tergambar jelas dan nyata dalam
motif hias yang terdapat pada plafon Pendhapa Ageng. Pendhapa merupakan
bangunan inti jawa paling depan yang. Pendhapa yang dapat menampung lima
sampai sepuluh ribu orang ini, sampai sekarang masih merupakan pendopo
Joglo terbesar di Indonesia dan mungkin di dunia. Dulu pendhapa ini
digunakan untuk wara-wara masyarakat kota Surakarta. Tiang-tiang kayu
berbentuk persegi yang menyangga atap joglo diambil dari pepohonan yang
tumbuh di hutan Danalaya di perbukitan Wonogiri. Pada sisi depan,
belakang, kanan, dan kiri pendhapa masing-masing terdapat dua patung
singa berwarna emas yang seolah-olah menjaga pendhapa dan pura dua dari
empat patung singa tersebut terbuat dari emas murni buatan Italia tetapi
demi keamanan di simpan dalam ndalem ageng. Di pendhapa ini diterangi
lampu-lampu antik yang dibeli dari Belanda yang langsung di datangkan
dari Bogor. Lantainya terbuat dari marmer asli yang langsung di
datangkan dari Venessia, Italia
Berdasarkan pada perspektif budaya, bentuk dan corak ungkapan kesenian
tidak semata hanya untuk pemenuhan keindahannya saja, melainkan juga
terkait secara menyeluruh dengan pemenuhan lainnya. Dengan kata lain,
hiasan pada Pendhapa Mangkunegaran dipandang sebagai salah satu cara
pemuasan akan keindahan yang keberadaannya dipenuhi beragam simbolik
elemen hias. Oleh karena itu penciptaaan suatu ragam hias tidak
dapatdilepaskan dari unsur-unsur yang melatarbelakangi
penciptaannya.Dibagian paling depan pendhapa tedapat bangunan seperti
gapura yang berwarna emas dan warna dominan pendhapa ini adalah warna
biru muda. Pendapa ini juga diperkuat dengan beberapa tiyang tambahan
yang ditutupioleh kain batik. Mangkunegaran merupakan sebuah pura dan
bukan keraton, hal ini anyak di salh artikan oleh masyarakat walaupun
masyarakat Solo selalipun, sehingga bangunan mangkunegaran tidak di
sebut siti hinggil walaupun pendhapa mangkunegaran tanah nya lenih
tinggi.
Bangunan pendhapa ini memiliki makna secara filosofis yaitu memiliki
sifat pradah yang berarti lapang dada, ramah tamah, pemurah dan juga
bisa dan siap dalam menerima tamu. Makna lain dari bangunan ini adalah
sanggup menerima dan mengatasi semua masalah yang timbul. Seluruh
bangunan Pendhapa Ageng ini didirikan tanpa menggunakan paku. Di dalam
pendopo ini terdapat tiga set gamelan, yaitu gamelan Kyai lipursari,
Gamelan Kyai Seton, dan gamelan Kyai Kanyutmesem, satu digunakan secara
rutin dan tiga lainnya digunakan hanya pada upacara khusus. Pada hari
rabu gamelan Kyai Lipursari yang baru berumur 25 tahun merupakan gamelan
terbaru dibunyikan untuk latihan tari dan sebagai pertunjukan bagi
wisatawan yang datang. Hari sabtu gamelan Kyai Seton yang sudah berumur
100 tahun di bunyikan tetapi hanya secara instrumental dan tidak di
sertai tarian. Dan Kyai Kanyutmesem gamelan peninggalan kerajaan Islam
pertama di Jawa yaitu kerajaan Demak sekitar 200 tahun yang lalu.
Gamelan ini masih asli.Hanya kulit kendang nya saja yang perlu diganti
secara berkala.Warna kuning dan hijau yang mendominasi pendhapa adalah
warna pari anom (padi muda) warna khas keluarga Mangkunegaran. Pada
langit-langit Pendhapa Ageng tergantung deretan lampu gantung antik.
Pada mulanya masyarakat yang hadir di pendhapa duduk bersila di lantai.
Kursi baru diperkenalkan pada akhir abad ke-19 waktu pemerintahan
Mangkunegoro VI. Hiasan langit-langit pendhapa yang bernama Kumudawati
berwarna terang melambangkan astrologi Hindu-Jawa dan bercorak lidah
api. Dibuat pada masa KGPAA Mangkoenagoro VII tahun 1937, oleh arsitek
dari Belanda Thomas Karsten dengan mandor pengerjaan dari China Liem To
Him. Pada lukisan ini terdapat lambang 12 bintang dalam astrologi dan 8
kotak yang masing-masing memiliki warna dan makna yang berbeda, yaitu :
- Kuning, bermakna selalu siaga
- Biru, untuk mencegah bencana
- Hitam, untuk melawan kemarahan
- Hijau, untuk melawan stres
- Putih, untuk melawan hawa nafsu
- Orange, untuk melawan rasa takut
- Merah, untuk melawan kejahatan
- Ungu, untuk melawan pikiran jahat
Di sini setiap hari Rabu dari jam 10 – 12 dipentaskan pagelaran tari.
Masyarakat umum boleh menikmatinya. Di pendhapa ageng setiap malam satu
Syuro Pura Mangkunegaran menyelenggarakan Kirab Pusaka Malam 1 Sura.
Dalam ritual itu KGPAA Mangkunagoro melepas kirab pusaka dengan berjalan
dari Pringgitan menuju teras Pendhapa Ageng, ratusan warga yang
berkumpul di Pendhapa Ageng saling berebut bunga yang disebarkan. Di
pendhapa ageng ini juga sering di gunakan untuk upacara-upacara adat
seperti pernikahan pergelaran tari, karawitan ataupun upacara adat
lainnya yang sangat sakral. Ucara pernikahan Gusti Menur dan Sarwana
juga di selenggarakan di pendhapa ini.
Sejarah Kesultanan Pajang
Negeri Pajang sebenarnya sedah ada dan sudah dikenal sejak jaman
kerajaan Majapahit. Menurut Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365, ada
seorang adik perempuan Hayam Wuruk (raja Majapahit saat itu) menjabat
sebagai penguasa Pajang, bergelar Bhatara i Pajang, atau disingkat Bhre
Pajang. Nama aslinya adalah Dyah Nertaja, yang merupakan ibu dari
Wikramawardhana, raja Majapahit selanjutnya. Dalam naskah-naskah babad,
negeri Pengging disebut sebagai cikal bakal Pajang. Cerita Rakyat yang
sudah melegenda menyebut Pengging sebagai kerajaan kuno yang pernah
dipimpin Prabu Anglingdriya, musuh bebuyutan Prabu Baka raja Prambanan.
Kisah ini dilanjutkan dengan dongeng berdirinya Candi Prambanan.
Ketika Majapahit dipimpin oleh Brawijaya (raja terakhir versi naskah
babad), nama Pengging muncul kembali. Dikisahkan putri Brawijaya yang
bernama Retno Ayu Pembayun diculik Menak Daliputih raja Blambangan putra
Menak Jingga. Muncul seorang pahlawan bernama Jaka Sengara yang
berhasil merebut sang putri dan membunuh penculiknya.Atas jasanya itu,
Jaka Sengara diangkat Brawijaya sebagai bupati Pengging dan dinikahkan
dengan Retno Ayu Pembayun. Jaka Sengara kemudian bergelar Andayaningrat.
Andayaningrat gugur di tangan Sunan Ngudung saat terjadinya perang
antara Majapahit dan Demak. Ia kemudian digantikan oleh putranya, yang
bernama Raden Kebo Kenanga, bergelar Ki Ageng Pengging. Sejak saat itu
Pengging menjadi daerah bawahan Kesultanan Demak. Beberapa tahun
kemudian Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh hendak
memberontak terhadap Demak. Putranya yang bergelar Jaka Tingkir setelah
dewasa justru mengabdi ke Demak. Prestasi Jaka Tingkir yang cemerlang
dalam ketentaraan membuat ia diangkat sebagai menantu Sultan Trenggana,
dan menjadi bupati Pajang bergelar Hadiwijaya. Wilayah Pajang saat itu
meliputi daerah Pengging (sekarang kira-kira mencakup Boyolali dan
Klaten), Tingkir (daerah Salatiga), Butuh, dan sekitarnya.
Sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, Sunan Prawoto naik takhta,
namun kemudian tewas dibunuh sepupunya, yaitu Arya Penangsang bupati
Jipang tahun 1549. Setelah itu, Arya Penangsang juga berusaha membunuh
Hadiwijaya namun gagal. Dengan dukungan Ratu Kalinyamat (bupati Jepara
putri Sultan Trenggana), Hadiwijaya dan para pengikutnya berhasil
mengalahkan Arya Penangsang. Ia pun menjadi pewaris takhta Kesultanan
Demak, yang ibu kotanya dipindah ke Pajang.
Pada awal berdirinya tahun 1549, wilayah Kesultanan Pajang hanya
meliputi sebagian Jawa Tengah saja, karena negeri-negeri Jawa Timur
banyak yang melepaskan diri sejak kematian Sultan Trenggana Saat naik
takhta, kekuasaan Hadiwijaya hanya mencakup wilayah Jawa Tengah saja.
Negeri-negeri di Jawa Timur yang tergabung dalam Persekutuan Adipati
Bang Wetan saat itu dipimpin oleh Panji Wiryakrama bupati Surabaya.
Persekutuan adipati tersebut sedang menghadapi ancaman invansi dari
berbagai penjuru, yaitu Pajang, Madura, dan Blambangan. Pada tahun 1568
Sunan Prapen penguasa Giri Kedaton menjadi mediator pertemuan antara
Sultan Hadiwijaya dengan para adipati Bang Wetan. Sunan Prapen berhasil
meyakinkan para adipati sehingga mereka bersedia mengakui kedaulatan
Kesultanan Pajang di atas negeri yang mereka pimpin. Sebagai tanda
ikatan politik, Panji Wiryakrama diambil sebagai menantu Hadiwijaya.
Selain itu, Hadiwijaya juga berhasil menundukkan Madura setelah penguasa
pulau itu yang bernama Raden Pratanu bergelar Panembahan Lemah Duwur
Arosbaya menjadi menantunya.Pemimpinnya yang bernama Raden Pratanu alias
Panembahan Lemah Dhuwur juga diambil sebagai menantu Sultan Hadiwijaya.
Pada zaman Kesultanan Demak, majelis ulama Wali Songo memiliki peran
penting, bahkan ikut mendirikan kerajaan tersebut. Majelis ini bersidang
secara rutin selama periode tertentu dan ikut menentukan kebijakan
politik Demak. Sepeninggal Sultan Trenggana, peran Wali Songo ikut
memudar. Sunan Kudus bahkan terlibat pembunuhan terhadap Sunan Prawoto,
raja baru pengganti Sultan Trenggana. Meskipun tidak lagi bersidang
secara aktif, sedikit banyak para wali masih berperan dalam pengambilan
kebijakan politik Pajang. Misalnya, Sunan Prapen bertindak sebagai
pelantik Hadiwijaya sebagai sultan. Ia juga menjadi mediator pertemuan
Sultan Hadiwijaya dengan para adipati Jawa Timur tahun 1568. Sementara
itu, Sunan Kalijaga juga pernah membantu Ki Ageng Pemanahan meminta
haknya pada Sultan Hadiwijaya atas tanah Mataram sebagai hadiah
sayembara menumpas Arya Penangsang.
JAKA TINGKIR
Nama asli Jaka Tingkir adalah Mas Karèbèt, putra Ki Ageng Pengging.
Ketika ia dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber
dengan dalang Ki Ageng Tingkir. Kedua ki ageng ini adalah murid Syekh
Siti Jenar. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan
meninggal dunia. Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati
karena dituduh memberontak terhadap Kesultanan Demak. Sebagai pelaksana
hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng
Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil
sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir).
Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda yang gemar bertapa, dan dijuluki Jaka
Tingkir. Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga. Ia juga berguru pada Ki
Ageng Sela, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, Ki
Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi. Babad Tanah Jawi
selanjutnya mengisahkan, Jaka Tingkir ingin mengabdi ke ibu kota Demak.
Di sana ia tinggal di rumah Kyai Gandamustaka (saudara Nyi Ageng
Tingkir) yang menjadi perawat Masjid Demak berpangkat lurah ganjur. Jaka
Tingkir pandai menarik simpati Sultan Trenggana sehingga ia diangkat
menjadi kepala prajurit Demak berpangkat lurah wiratamtama.
Beberapa waktu kemudian, Jaka Tingkir bertugas menyeleksi penerimaan
prajurit baru. Ada seorang pelamar bernama Dadungawuk yang sombong dan
suka pamer. Jaka Tingkir menguji kesaktiannya dan Dadungawuk tewas.
Akibatnya, Jaka Tingkir pun dipecat dari ketentaraan dan diusir dari
Demak. Jaka Tingkir kemudian berguru pada Ki Ageng Banyubiru (saudara
seperguruan ayahnya). Setelah tamat, ia kembali ke Demak bersama ketiga
murid yang lain, yaitu Mas Manca, Mas Wila, dan Ki Wuragil. Rombongan
Jaka Tingkir menyusuri Sungai Kedung Srengenge menggunakan rakit. Muncul
kawanan siluman buaya menyerang mereka namun dapat ditaklukkan. Bahkan,
kawanan tersebut kemudian membantu mendorong rakit sampai ke tujuan.
Saat itu Sultan Trenggana sekeluarga sedang berwisata di Gunung Prawoto.
Jaka Tingkir melepas seekor kerbau gila yang sudah diberi mantra.
Kerbau itu mengamuk menyerang pesanggrahan Sultan di mana tidak ada
prajurit yang mampu melukainya. Jaka Tingkir tampil menghadapi kerbau
gila. Kerbau itu dengan mudah dibunuhnya. Atas jasanya itu, Sultan
Trenggana mengangkat kembali Jaka Tingkir menjadi lurah wiratamtama.
Kisah dalam naskah-naskah babad tersebut seolah hanya kiasan, bahwa
setelah dipecat, Jaka Tingkir menciptakan kerusuhan di Demak, dan ia
tampil sebagai pahlawan yang meredakannya. Oleh karena itu, ia pun
mendapatkan simpati Sultan kembali.
Prestasi Jaka Tingkir sangat cemerlang meskipun tidak diceritakan secara
jelas dalam Babad Tanah Jawi. Hal itu dapat dilihat dengan diangkatnya
Jaka Tingkir sebagai bupati Pajang bergelar Adipati Hadiwijaya. Ia juga
menikahi Ratu Mas Cempaka, putri Sultan Trenggana. Sepeninggal Sultan
Trenggana tahun 1546, putranya yang bergelar Sunan Prawoto naik takhta,
tapi kemudian tewas dibunuh Arya Penangsang (sepupunya di Jipang) tahun
1549. Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Kalinyamat, menantu Sultan
Trenggana yang menjadi bupati Jepara. Kemudian Arya Penangsang mengirim
utusan untuk membunuh Hadiwijaya di Pajang, tapi gagal. Justru
Hadiwijaya menjamu para pembunuh itu dengan baik, serta memberi mereka
hadiah untuk mempermalukan Arya Penangsang.
Sepeninggal suaminya, Ratu Kalinyamat (adik Sunan Prawoto) mendesak
Hadiwijaya agar menumpas Arya Penangsang karena hanya ia yang setara
kesaktiannya dengan adipati Jipang tersebut. Adiwijaya segan memerangi
Arya Penangsang secara langsung karena sama-sama anggota keluarga Demak.
Maka Hadiwijaya pun mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh
Arya Penangsang akan mendapatkan tanah Pati dan Mataram sebagai hadiah.
Sayembara diikuti kedua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan
Ki Panjawi. Dalam perang itu, Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Ageng
Pemanahan) berhasil menyusun siasat cerdik sehingga menewaskan Arya
Penangsang di tepi Bengawan Sore.
Setelah peristiwa tahun 1549 tersebut, Ratu Kalinyamat menyerahkan
takhta Demak kepada Hadiwijaya. Pusat kerajaan tersebut kemudian
dipindah ke Pajang dengan Hadiwijaya sebagai sultan pertama. Sultan
Hadiwijaya juga mengangkat rekan-rekan seperjuangannya dalam
pemerintahan. Mas Manca dijadikan patih bergelar Patih Mancanegara,
sedangkan Mas Wila dan Ki Wuragil dijadikan menteri berpangkat ngabehi.
Sesuai perjanjian sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dan
bergelar Ki Ageng Pati. Sementara itu, Ki Ageng Pemanahan masih menunggu
karena seolah-olah Sultan Hadiwijaya menunda penyerahan tanah Mataram.
Sampai tahun 1556, tanah Mataram masih ditahan Hadiwijaya. Ki Ageng
Pemanahan segan untuk meminta. Sunan Kalijaga selaku guru tampil sebagai
penengah kedua muridnya itu. Ternyata, alasan penundaan hadiah adalah
dikarenakan rasa cemas Hadiwijaya ketika mendengar ramalan Sunan Prapen
bahwa di Mataram akan lahir sebuah kerajaan yang mampu mengalahkan
kebesaran Pajang. Ramalan itu didengarnya saat ia dilantik menjadi
sultan usai kematian Arya Penangsang
KERUNTUHAN KESULTANAN PAJANG
Ramalan tersebut menjadi kenyataan ketika Mataram dipimpin Sutawijaya
putra Ki Ageng Pemanahan sejak tahun 1575. Tokoh Sutawijaya inilah yang
sebenarnya membunuh Arya Penangsang. Di bawah pimpinannya, daerah
Mataram semakin hari semakin maju dan berkembang. Pada tahun 1582
meletus perang Pajang dan Mataram karena Sutawijaya membela adik
iparnya, yaitu Tumenggung Mayang, yang dihukum buang ke Semarang oleh
Sultan Hadiwijaya. Perang itu dimenangkan pihak Mataram meskipun pasukan
Pajang jumlahnya lebih besar.
Sepulang dari perang, Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dan meninggal dunia.
Terjadi persaingan antara putra dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa
dan Arya Pangiri sebagai raja selanjutnya. Arya Pangiri didukung
Panembahan Kudus berhasil naik takhta tahun 1583. Pemerintahan Arya
Pangiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram.
Kehidupan rakyat Pajang terabaikan. Hal itu membuat Pangeran Benawa yang
sudah tersingkir ke Jipang, merasa prihatin.
Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu
Pajang. Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Sultan Hadiwijaya,
namun Pangeran Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua. Perang
antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya
Pangiri. Ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawa
kemudian menjadi raja Pajang yang ketiga.
Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada putra
mahkota yang menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai
negeri bawahan Mataram. Yang menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak
Baning, adik Sutawijaya. Sutawijaya sendiri mendirikan Kesultanan
Mataram di mana ia sebagai raja pertama bergelar Panembahan Senopati.
Daftar Raja Pajang
1. Jaka Tingkir bergelar Sultan Hadiwijaya
2. Arya Pangiri bergelar Sultan Ngawantipura
3. Pangeran Benawa bergelar Sultan Prabuwijaya
DAFTAR PUSTAKA
http://masjamal.wordpress.com/2008/06/28/legenda-joko-tingkir/
Purwadi. 2004. Sejarah Raja-raja Jawa. Yogyakarta: Media Abad
KANJENG RATU KIDUL
Di suatu masa, hiduplah seorang putri cantik bernama Kadita. Karena
kecantikannya, ia pun dipanggil Dewi Srengenge yang berarti matahari
yang indah. Dewi Srengenge adalah anak dari Raja Munding Wangi. Meskipun
sang raja mempunyai seorang putri yang cantik, ia selalu bersedih
karena sebenarnya ia selalu berharap mempunyai anak laki-laki. Raja pun
kemudian menikah dengan Dewi Mutiara, dan mendapatkan putra dari
perkimpoian tersebut. Maka, bahagialah sang raja.Dewi Mutiara ingin agar
kelak putranya itu menjadi raja, dan ia pun berusaha agar keinginannya
itu terwujud. Kemudian Dewi Mutiara datang menghadap raja, dan meminta
agar sang raja menyuruh putrinya pergi dari istana. Sudah tentu raja
menolak. “Sangat menggelikan. Saya tidak akan membiarkan siapapun yang
ingin bertindak kasar pada putriku”, kata Raja Munding Wangi. Mendengar
jawaban itu, Dewi Mutiara pun tersenyum dan berkata manis sampai raja
tidak marah lagi kepadanya. Tapi walaupun demikian, dia tetap berniat
mewujudkan keinginannya itu.
Pada pagi harinya, sebelum matahari terbit, Dewi Mutiara mengutus
pembantunya untuk memanggil seorang dukun. Dia ingin sang dukun mengutuk
Kadita, anak tirinya. “Aku ingin tubuhnya yang cantik penuh dengan
kudis dan gatal-gatal. Bila engkau berhasil, maka aku akan memberikan
suatu imbalan yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya.” Sang dukun
menuruti perintah sang ratu. Pada malam harinya, tubuh Kadita telah
dipenuhi dengan kudis dan gatal-gatal. Ketika dia terbangun, dia
menyadari tubuhnya berbau busuk dan dipenuhi dengan bisul. Puteri yang
cantik itu pun menangis dan tak tahu harus berbuat apa.Ketika Raja
mendengar kabar itu, beliau menjadi sangat sedih dan mengundang banyak
tabib untuk menyembuhkan penyakit putrinya. Beliau sadar bahwa penyakit
putrinya itu tidak wajar, seseorang pasti telah mengutuk atau
mengguna-gunainya. Masalah pun menjadi semakin rumit ketika Ratu Dewi
Mutiara memaksanya untuk mengusir puterinya. “Puterimu akan mendatangkan
kesialan bagi seluruh negeri,” kata Dewi Mutiara.
Karena Raja tidak menginginkan puterinya menjadi gunjingan di seluruh
negeri, akhirnya beliau terpaksa menyetujui usul Ratu Mutiara untuk
mengirim putrinya ke luar dari negeri itu.Puteri yang malang itu pun
pergi sendirian, tanpa tahu kemana harus pergi. Dia hampir tidak dapat
menangis lagi. Dia memang memiliki hati yang mulia. Dia tidak menyimpan
dendam kepada ibu tirinya, malahan ia selalu meminta agar Tuhan
mendampinginya dalam menanggung penderitaan..Hampir tujuh hari dan tujuh
malam dia berjalan sampai akhirnya tiba di Samudera Selatan. Dia
memandang samudera itu. Airnya bersih dan jernih, tidak seperti samudera
lainnya yang airnya biru atau hijau. Dia melompat ke dalam air dan
berenang. Tiba-tiba, ketika air Samudera Selatan itu menyentuh kulitnya,
mukjizat terjadi. Bisulnya lenyap dan tak ada tanda-tanda bahwa dia
pernah kudisan atau gatal-gatal. Malahan, dia menjadi lebih cantik
daripada sebelumnya. Bukan hanya itu, kini dia memiliki kuasa untuk
memerintah seisi Samudera Selatan. Kini ia menjadi seorang peri yang
disebut Nyi Roro Kidul atau Ratu Pantai Samudera Selatan yang hidup
selamanya.
KANJENG RATU KIDUL MENURUT SEJARAH JAWA ( BABAD TANAH JAWI )
Dalam Babad Tanah Jawi (abad ke-19), seorang pangeran dari Kerajaan
Pajajaran, Joko Suruh, bertemu dengan seorang pertapa yang memerintahkan
agar dia menemukan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Karena sang
pertapa adalah seorang wanita muda yang cantik, Joko Suruh pun jatuh
cinta kepadanya. Tapi sang pertapa yang ternyata merupakan bibi dari
Joko Suruh, bernama Ratna Suwida, menolak cintanya. Ketika muda, Ratna
Suwida mengasingkan diri untuk bertapa di sebuah bukit. Kemudian ia
pergi ke pantai selatan Jawa dan menjadi penguasa spiritual di sana. Ia
berkata kepada pangeran, jika keturunan pangeran menjadi penguasa di
kerajaan yang terletak di dekat Gunung Merapi, ia akan menikahi seluruh
penguasa secara bergantian.
Generasi selanjutnya, Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram
Ke-2, mengasingkan diri ke Pantai Selatan, untuk mengumpulkan seluruh
energinya, dalam upaya mempersiapkan kampanye militer melawan kerajaan
utara. Meditasinya menarik perhatian Kanjeng Ratu Kidul dan dia berjanji
untuk membantunya. Selama tiga hari dan tiga malam dia mempelajari
rahasia perang dan pemerintahan, dan intrik-intrik cinta di istana bawah
airnya, hingga akhirnya muncul dari Laut Parangkusumo, kini Yogyakarta
Selatan. Sejak saat itu, Ratu Kidul dilaporkan berhubungan erat dengan
keturunan Senopati yang berkuasa, dan sesajian dipersembahkan untuknya
di tempat ini setiap tahun melalui perwakilan istana Solo dan
Yogyakarta.
Di Keraton Surakarta dilaksanakan berbagai bentuk penghayatan mereka
kepada Kanjeng Ratu Kidul. Salah satunya adalah pementasan tari yang
paling sakral di keraton, Bedoyo Ketawang, yang diselenggarakan setahun
sekali pada saat peringatan hari penobatan para raja. Sembilan orang
penari yang mengenakan pakaian tradisional pengantin Jawa mengundang
Ratu Kidul untuk datang dan menikahi susuhunan, dan kabarnya sang Ratu
kemudian secara gaib muncul dalam wujud penari kesepuluh yang nampak
berkilauan. Dan menurut kepercayaan kraton Surakarta sang ratu selalu
bertemu dengan Raja Surakarta di menara kraton yang di sebut Panggung
Sangga buwana.
No comments:
Post a Comment