Perbatasan di desa Krayan Kalimantan Timur.
Oleh : Harry Susi
Long Bawan cuma bersinar enam jam setiap hari. Desa di dataran tinggi perbatasan Kalimantan Timur dan Malaysia itu harus bertarung sendiri menyediakan listrik. Tak terkecuali rumah Yagung (55), Kepala Adat Krayan. Mesin generator pembangkit listrik itu bergetar di kediaman Yagung di Desa Long Bawan, Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur (Kaltim). Suaranya seolah menggantikan matahari yang baru saja terbenam. Satu per satu lampu pun menyala. ”Sudah sembilan bulan ini kami harus pakai genset kalau ingin ada listrik. Pembangkit listrik di sini rusak,” kata Yagung yang berasal dari suku Dayak Lundayeh, Selasa (17/1). Namun, lampu listrik itu hanya bertahan enam jam, pukul 18.00-24.00.
Warga membatasi penggunaan genset agar tidak boros bahan bakar. Setiap hari, Yagung butuh 3 liter bensin untuk menyalakan listrik selama enam jam. Terdapat dua pembangkit listrik di Krayan yang tak berfungsi, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Remayo I yang dibangun 1997 dengan daya 30 kilowatt dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Remayo II dengan daya 237 kilowatt. Keduanya proyek Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
PLTA Remayo I tidak berfungsi sejak Agustus 2011 karena salah satu komponen di mesin pembangkit rusak. Adapun proyek PLTMH Remayo II yang dibangun tahun 2009 dan bernilai Rp 6,5 miliar terbengkalai. ”Mesinnya ditinggalkan begitu saja oleh kontraktor,” ujar Camat Krayan Samuel ST Padan. Belum lagi persoalan listrik usai, warga Krayan harus menanggung masalah lain saat musim hujan tiba, yaitu rusak parahnya jalan penghubung dataran tinggi yang berbatasan dengan Ba’kelalan, Sarawak,Malaysia. Dalam kondisi seperti itu, kegiatan harian penduduk berjual-beli beras dan garam ke Ba’kelalan yang berjarak sekitar 20 kilometer (km) terganggu.
Mereka ke perbatasan dengan berjalan kaki dan sebagian lagi menitipkan barang kepada tukang ojek. Saat normal, biaya angkut menggunakan ojek Rp 2.000 per kilogram (kg). Saat hujan, biaya melonjak menjadi Rp 2.500 per kg atau rata-rata dari Rp 300.000 sekali angkut menjadi Rp 400.000. Satu ojek umumnya mengangkut beras hingga 150 kg untuk dijual dan membawa 250 liter bahan bakar minyak dari Ba’kelalan. ”Kalau musim hujan, jalanan memang parah begini. Motor juga jadi lebih sering rusak. Makanya, biaya angkut naik,” kata Jeffrison (36), salah seorang tukang ojek.
Harga bensin atau solar di Krayan pada pertengahan Januari lalu Rp
10.000 per liter, gula pasir Rp 15.000 per kg, dan semen Rp 250.000 per
zak. Harga ini termasuk normal karena beberapa hari terakhir tidak turun
hujan. Jika hujan mengguyur dan jalan rusak, harga bensin mencapai Rp
15.000 per liter dan semen bisa Rp 400.000 per zak. Beras adan yang
dijual masyarakat Krayan ke Sarawak merupakan salah satu varietas lokal
unggulan di Kaltim. Nasinya pulen dan harum. Beras ini dijual hanya Rp
17.000-Rp 18.000 per kg di Ba’kelalan dan dijual kembali oleh warga
Sarawak dengan harga dua kali lipat di pasar Malaysia.
Meskipun Krayan memiliki sumber daya alam melimpah, warga tidak dapat berbuat apa-apa karena mereka sangat bergantung kepada Malaysia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain beras, garam, dan pulsa telepon, semua kebutuhan pokok juga dipasok Malaysia. Ini karena Krayan sudah lama terisolasi. Karena letaknya yang dikelilingi hutan tropis Taman Nasional Kayan Mentarang, Krayan tidak dapat diakses melalui darat dari wilayah lain di Indonesia. Sungai pun tidak saling terhubung.
Ironisnya, terdapat 9.153 warga yang tinggal di Kecamatan Krayan. Satu-satunya akses yang mampu menjangkau wilayah dengan ketinggian sekitar 1.050 meter di atas permukaan laut ini hanya melalui penerbangan perintis dari Tarakan, Nunukan, dan Malinau. Untuk menjangkau bandara kecil Yuvai Semaring, Long Bawan, Krayan, biasanya menggunakan pesawat Cessna berkapasitas 6-12 penumpang yang dioperasikan Susi Air. Adapun untuk menggapai lima wilayah lain yang memiliki lapangan terbang perintis di Krayan, orang harus mencarter pesawat Mission Aviation Fellowship (MAF). Satu kecamatan lagi di dataran tinggi ini, yakni Krayan Selatan, dalam kondisi lebih tragis karena lebih terisolasi dan tak ada lapangan terbang.
Yagung mengatakan tak ada pilihan kecuali harus membeli barang
kebutuhan pokok dari Malaysia. Sebab, ongkos angkut barang dengan
pesawat terlalu tinggi. Harga 1 kg gula pasir di Nunukan, misalnya, Rp
10.000 sehingga harga jualnya di Krayan bisa Rp 20.000 per kg. Imbasnya,
menurut Samuel, warga yang harus berobat ke Tarakan pun dialihkan ke
rumah sakit di Sarawak karena biaya pesawat tinggi. Kondisi Krayan saat
ini, ungkap Samuel, tak ubahnya seperti awal tahun 1990-an yang belum
dapat listrik dan biaya penerbangan mahal.Meskipun Krayan memiliki sumber daya alam melimpah, warga tidak dapat berbuat apa-apa karena mereka sangat bergantung kepada Malaysia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain beras, garam, dan pulsa telepon, semua kebutuhan pokok juga dipasok Malaysia. Ini karena Krayan sudah lama terisolasi. Karena letaknya yang dikelilingi hutan tropis Taman Nasional Kayan Mentarang, Krayan tidak dapat diakses melalui darat dari wilayah lain di Indonesia. Sungai pun tidak saling terhubung.
Ironisnya, terdapat 9.153 warga yang tinggal di Kecamatan Krayan. Satu-satunya akses yang mampu menjangkau wilayah dengan ketinggian sekitar 1.050 meter di atas permukaan laut ini hanya melalui penerbangan perintis dari Tarakan, Nunukan, dan Malinau. Untuk menjangkau bandara kecil Yuvai Semaring, Long Bawan, Krayan, biasanya menggunakan pesawat Cessna berkapasitas 6-12 penumpang yang dioperasikan Susi Air. Adapun untuk menggapai lima wilayah lain yang memiliki lapangan terbang perintis di Krayan, orang harus mencarter pesawat Mission Aviation Fellowship (MAF). Satu kecamatan lagi di dataran tinggi ini, yakni Krayan Selatan, dalam kondisi lebih tragis karena lebih terisolasi dan tak ada lapangan terbang.
Anggota DPRD Nunukan periode 2000-2009, Muthang Balang, mengatakan, Krayan sebagai daerah perbatasan lebih mirip halaman belakang dibandingkan dengan beranda depan negara. Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak pernah berjanji akan membangun jalan tembus dari Krayan menuju Malinau. Namun, janji itu tak kunjung terealisasi. ”Pemerintah ini lebih peduli patok perbatasan yang bergeser dibandingkan dengan nasib warga di sekitar patok,” kata Yagung. Itu sebabnya, warga umumnya sudah tak berharap lagi.(Kompas 1 Maret 2012)
No comments:
Post a Comment