Teknologi Penanaman Kedelai Grobogan
Krisis kedelai berkali-kali terjadi di negeri ini. Ironisnya, krisis
tersebut terjadi di negeri agraris akibat kurangnya pasokan kedelai di
pasaran. Hal itu membuat Adi Widjaja (40) gemas. Seandainya pemerintah
benar-benar berniat serius mengembangkan kedelai lokal, tentu para
perajin tempe dan tahu tak perlu menjerit, apalagi melakukan aksi mogok
seperti yang terjadi belakangan ini.
”Sebenarnya kita memiliki potensi yang besar,” kata Adi Widjaja,
peneliti kedelai. Dia meneruskan perjuangan sang ayah, Tjandramukti
(almarhum), yang meneliti kedelai lokal hingga menemukan varietas
kedelai lokal, yakni kedelai grobogan. Jenis kedelai ini diakui
pemerintah sebagai benih unggul nasional.
Potensi kedelai negeri ini sebenarnya bisa memenuhi kebutuhan jika
pemerintah serius menanganinya. Lihat saja di Kabupaten Grobogan, Jawa
Tengah. Beberapa desa di kabupaten tersebut sejak bertahun-tahun menanam
dan memproduksi kedelai lokal tanpa bergantung pada kedelai impor.
Bahkan, kelompok tani di salah satu desa di kabupaten ini, yang mendapat
pendampingan Tjandramukti, yakni Kelompok Tani Kabul Lestari di Desa
Panunggalan, Kecamatan Pulokulon, pada 2007 meraih juara nasional
Kelompok Tani Agribisnis Kedelai.
Produksi kedelai di desa tersebut mencapai 3,4 ton per hektar dengan
rata-rata kelompok pada angka 3,2 ton per hektar. Semuanya ditanam pada
musim hujan meski pemerintah menganjurkan penanaman kedelai pada musim
kemarau.
Keberhasilan para petani Desa Panunggalan memproduksi kedelai dengan
produktivitas tinggi ini berkat penelitian kedelai yang dirintis
Tjandramukti. Kerja kerasnya selama bertahun-tahun berhasil mengangkat
kedelai lokal grobogan, temuan Tjandramukti, menjadi benih unggul
nasional.
Selama bertahun-tahun petani di Desa Panunggalan menanam kedelai dengan
metode penanaman dan pemupukan dari Budi Mixed Farming (BMF) yang
dikenalkanTjandramukti. BMF adalah perusahaan pertanian dan peternakan
kecil inovatif yang berbasis pada penelitian.
Perusahaan itu fokus pada pemberian solusi sistem pertanian campuran
(mixed farming system) dan optimalisasi produksi tanaman subtropis di
wilayah tropis, seperti kedelai.
Berkat sistem tersebut, pada 2006 rata-rata produksi kedelai di desa itu
bisa mencapai 3 ton per hektar. Bahkan, beberapa petani dapat mencapai
lebih dari 4 ton per hektar. Keberhasilan inilah yang membawa kelompok
tani yang dibina BMF meraih juara Nasional Kelompok Tani Agribisnis
Kedelai.
Keunggulan kedelai grobogan membuat Pemerintah Kabupaten Grobogan
mendaftarkan kedelai temuan Tjandramukti sebagai benih unggul nasional
pada 2008. Dalam penelitian lebih lanjut, oleh Balai Penelitian Tanaman
Kacang-Kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi), ditemukan dua jenis kedelai
dari temuan ini.
Satu jenis kedelai berwarna kuning mengilap dengan produksi lebih
rendah. Satu jenis lagi berwarna lebih kusam dengan produksi lebih
tinggi. Jenis kedua akhirnya diresmikan menjadi benih unggul nasional
dengan nama kedelai lokal grobogan.
Tak dilirik pemerintah
Sayangnya, kisah sukses petani Grobogan ini tak ditularkan pemerintah
kepada petani di Tanah Air. Sampai Tjandramukti meninggal dunia tahun
2011, teknologi optimalisasi BMF yang diterapkan Tjandramukti tak
dilirik pemerintah.
Adi, yang mendampingi sang ayah, sejak pulang dari Australia tahun 2003
pun tergerak melanjutkan misi ayahnya. ”Saya akan teruskan apa yang
telah dimulai ayah saya,” kata Adi, awal Agustus lalu.
Selain meyakinkan petani agar terus menggunakan pola penanaman kedelai
dengan teknologi BMF, Adi pun tak pernah berhenti menyosialisasikan
teknologi tersebut kepada semua kalangan yang pernah ditemuinya,
terutama dari perguruan tinggi.
Model pembuatan sumur resapan komunal yang diterapkan ayahnya di
ladang-ladang petani kedelai hingga kini terus dilakukannya. Sumur
sedalam 3 meter yang dibuat 6 hingga 12 buah dalam 1 hektar itu
berfungsi mengondisikan tanah di sekitarnya menjadi daerah resapan air.
”Cara inilah yang membuat tanaman kedelai bisa tumbuh di daerah tersebut
dan tidak kekurangan air walau musim kemarau,” ungkapnya.
Apa yang dirintis ayahnya diteruskan Adi. Ia mengawal para petani di
Panunggalan yang menerapkan penanaman kedelai dengan teknologi
optimalisasi BMF.
Maka, ketika krisis kedelai kembali terjadi dan sejumlah kalangan
mengungkapkan Indonesia tidak cocok untuk pertanian kedelai, Adi hanya
bisa mengurut dada.
”Banyak peneliti datang ke Panunggalan. Mereka melakukan percobaan
dengan kedelai lokal. Namun, mereka tidak mau ngomong kualitas yang
sebenarnya dari kedelai grobogan,” paparnya.
Tak cuma peneliti, pejabat pemerintah di bidang pertanian pun pernah
mengunjungi dan melihat langsung hasil pertanian kedelai di Panunggalan.
”Katanya sudah diakui sebagai bibit unggul nasional, kelompok tani dapat
penghargaan, tetapi kedelai grobogan tidak pernah dikembangkan secara
luas,” katanya.
Saat sebagian kalangan menyatakan kedelai lokal tidak lebih baik dari
kedelai impor, karena ukurannya lebih besar daripada kedelai impor, Adi
membantah anggapan itu. Ia menegaskan, perajin tahu-tempe, yang sekian
lama dibiasakan menggunakan kedelai impor, telah membuat mereka tidak
tertarik memakai kedelai lokal.
Alasan yang dipakai perajin, kedelai impor lebih cepat hancur jika
direndam. ”Kalau tidak ingin bergantung pada kedelai impor, cara
menangani kedelai lokal pun harus diubah,” kata Adi.
Cara yang bisa ditempuh adalah perendaman kedelai yang lebih lama atau
menggunakan teknik perusakan kulit ari dengan menggunakan air mendidih,
kemudian direndam dalam air dingin.
Jika petani atau perajin tahu-tempe mau menggunakan cara ini terhadap
kedelai grobogan, misalnya, hasil pembuatannya diperkirakan bisa 10
persen lebih banyak dibandingkan dengan jika mereka menggunakan kedelai
impor kualitas yang sama. Jakarta
-Kita belum tahu siapa yang akan jadi juara Wirausaha Muda Mandiri
tahun ini. Minggu depan, dalam acara yang biasanya dihadiri 5.000
wirausaha muda, kita baru tahu siapa dia. Tiap tahun Bank Mandiri memang
mengadakan lomba wirausaha untuk anak muda. Juaranya selalu hebat.
"Saya juara tahun lalu, Pak," ujar Adi Widjaja saat menyalami saya di
sebuah desa di Purwodadi, Jateng. Saya memang ke desa Krangganrejo untuk
bertemu warga di situ.
Desa ini dekat stasiun yang akan dirancang untuk disinggahi KA kelak.
Saat ini stasiun yang dulunya tidak disinggahi KA itu sedang dibangun
dan sudah kelihatan gagahnya.
Adi Widjaja datang ke Krangganrejo dengan membawa dua bungkus plastik
kedelai. Satu bungkus berisi kedelai impor dari Amerika Serikat. Satunya
lagi berisi kedelai hasil tanamannya sendiri yang dibiayai dari hadiah
Rp 1 miliar yang dia dapat dari Bank Mandiri.
Adi ingin agar saya melihat sendiri bahwa kedelai hasil tanamannya lebih bagus dari kedelai Amerika.
Waktu ikut lomba di Bank Mandiri dulu Adi memang mengajukan proposal
bisnis kedelai yang menguntungkan. Proposal ini menarik perhatian,
terutama di saat Indonesia kekurangan kedelai. Kita harus impor kedelai
besar-besaran karena produksi kedelai kita sangat kecil.
Itu karena petani tidak mau tanam kedelai yang hasilnya kalah dari tanam
padi atau palawija. Produktivitas tanaman kedelai kita hanya sekitar
1,5 ton/hektar. Kalau harga kedelai hanya Rp 7.000/kg, berarti satu
hektar sawah hanya menghasilkan uang sekitar Rp 11 juta/hektar.
Adi Widjaja mengajukan proposal mengejutkan: bisa 3 ton/hektar. Bahkan
bisa 3,4 ton/hektar. Kalau ini benar berarti satu hektar sawah bisa
menghasilkan Rp 21 juta lebih. Cukup bersaing dengan tanaman padi.
Apalagi kedelai Adi ini sudah bisa dipanen dalam 75 hari.
Adi yang lulusan S1 Biologi Universitas Satya Wacana Salatiga dan S2 di
Victoria University Melbourne, Australia, itu mengaku bahwa dia hanya
mengembangkan penemuan bapaknya. Sang ayah, drh Tjandramukti yang
lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) meninggal dunia tiga tahun lalu
dalam usia 75 tahun.
Kalau penemuan Adi ini dikembangkan, maka gugurlah tesis selama ini
bahwa kedelai tidak cocok ditanam di negara tropis seperti Indonesia.
Selama ini text book mengatakan bahwa kedelai hanya cocok ditanam di
negara subtropik yang mataharinya bersinar lebih panjang.
Dari logika "sinar yang lebih panjang" itulah Tjandramukti berangkat
melakukan penelitian. Sang ayah ingin membuktikan bagaimana sinar yang
pendek bisa ditangkap maksimal sehingga hasilnya sama dengan sinar yang
panjang.
Tjandramukti fokus membuat daun kedelai yang mampu menangkap sinar dalam
waktu yang lebih pendek tapi daya serapnya lebih besar. Dalam kasus
singkong, para penemu membuat daun singkongnya lebih banyak dan tidak
cepat rontok.
Dalam hal kedelai ini, ayah Adi tidak ingin membuat daun kedelai yang
lebar dan banyak. Ini karena daun yang lebar cenderung melengkung kalau
terkena terik matahari yang sangat panas. Kalau daun itu melengkung daya
serapnya terhadap sinar berkurang.
Tjandramukti justru ingin menciptakan daun kedelai yang tebal. Agar
posisi daun tidak mudah melengkung saat ditimpa terik matahari. Lalu
ruas-ruas batang kedelai dia buat pendek untuk efektivitas sistem
transportasi. Untuk menciptakan dua hal itu (daun tebal dan ruas pendek)
harus diciptakan pupuk khusus.
Walhasil pupuk khusus inilah yang ditemukan Tjandramukti. Jenis pupuk yang bisa mengubah tanah dan mengubah tanaman.
Adi yang meneruskan penelitian sepeninggal ayahanda merahasiakan formula
pupuknya. Tapi dia mau menjelaskan bahwa semua itu berbasis kotoran
sapi. "Hanya saja makanan sapinya kami atur secara khusus," kata Adi.
"Tetap ada unsur serat, protein, dan karbohidrat, tapi kami campur
dengan ramuan khusus," tambahnya.
Begitu mendapat hadiah Rp 1 miliar dari Bank Mandiri, Adi langsung
bergerilya mencari petani yang mau sawahnya ditanami kedelai dengan
benih dan pupuk khusus. Dia dapat sawah seluas 950 hektar. Minggu lalu
kedelai hampir 1.000 hektar itu panen. Hasilnya 3,4 ton/hektar. Sama
dengan produktifitas kedelai Amerika.
Hebatnya kedelai Adi ini bukan teknologi transgenik. Ini kedelai
organik. Butirannya lebih seksi dan sedikit lebih besar dari kedelai
Amerika.
Mengapa hanya tanam 950 hektar? "Itulah maksimum volume pupuk yang bisa
kami buat. Kami hanya punya 50 ekor sapi," ujar Adi. "Kami perlu beli
sapi tambahan untuk bisa bikin pupuk khusus yang lebih banyak."
Sambil meninggalkan Purwodadi kemarin, saya merasa bersyukur Bank
Mandiri bisa “menemukan” Adi Widjaja. Tantangan berikutnya tinggal
mengembangkannya. Kita sudah mendapat kendaraan untuk swasembada
kedelai. Kita tinggal menyediakan jalannya. Kita bisa!
No comments:
Post a Comment